Feb 11, 2014

Crying Or Lying.

Menangis. Begitulah caraku mengekspresikan beberapa hal yang sama sekali tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata. Kenapa kita menangis? Bagiku, itulah cara hati menyampaikan ada bagian yang terluka. Perih, begitu katanya. Adakah hal yang lebih melegakan dari menangis? Ada, mungkin beberapa orang akan memerlukan pelukan untuk menenangkan. Sebagian akan mencari bahu untuk sekedar bersandar. Tetapi ada pula yang akan menyimpan tangisannya untuk dirinya sendiri. Mengapa demikian? Karena banyak yang tidak ingin terlihat lemah hanya karena menangis.

Laki-laki yang menangis? Pernahkah kalian melihatnya? Mungkin pernah, tetapi sangat jarang. Di dunia ini perempuanlah yang memiliki label sebagai yang 'peka', bukan laki-laki. Tapi ketahuilah satu hal, ketika laki-laki sudah meneteskan air matanya, itu berarti hal tersebut sudah sangat menyakitinya. Berbeda dengan perempuan. Mereka sering kali terbawa suasana lalu tanpa sadar meneteskan air matanya. Sia-siakah? Mungkin iya, jika air matanya terbuang percuma untuk orang yang hanya bisa menyakitinya. Sering kali perempuan berkata "Aku tidak apa-apa." saat menangis. Hai para lelaki, sediakanlah bahu sebagai tempatnya bersandar. Tak perlu bertanya ini itu, cukup dekap dia disisimu.

Aku tidak apa-apa. Benarkah demikian? Sebenarnya itu adalah pertanyaan yang selalu ku lontarkan untuk diriku sendiri. Benarkah dengan pipi yang basah ini aku tak apa? Benarkah dengan pundak yang cukup berguncang ini aku baik-baik saja? Benarkah dengan rasa sesak di dada ini aku tidak apa-apa? Maaf, perempuan sepertiku ini selalu mengucap kebohongan kecil yang sebenarnya perlu diperbesar. Tak ada yang baik-baik saja ketika seorang perempuan menangis. Coba lihat saja mata lebam yang dia buat. Coba dengar isak tangis yang menyedihkan. Tak ada yang baik-baik saja.

Kebiasaan terburuk yang sampai saat ini masih ku lakukan adalah gengsi untuk mengakui bahwa aku tidak baik-baik saja. Entahlah. Entah kenapa begitu susah untuk mengakui bahwa hati ini sudah cukup perih dirasa. Sudah cukup banyak menyimpan sayatan luka.

And in the end, girls will end up with
"I'm Fine." instead of "I'm broken inside."
—Luna Aisyah.

Feb 9, 2014

Gebetan VS Mantan

Masa lalu.
Begitulah kita menyebut waktu saat kita bersama orang yang sudah berlalu.
Terkadang, kenangannya sering kali muncul untuk membuat rindu. 
Sesekali membawa ingatan manis tentang apa yang sudah pergi. 
Masa lalu adalah masa dimana seharusnya kenangan bisa dikenang tanpa harus diharapkan kembali. 
Salah satu hal yang menjadi persoalan anak muda jaman sekarang adalah adanya mantan di masa lalu yang mencoba tetap hadir dalam pikiran yang baru. Biasanya disebut dengan 'Gagal Move On'.
Bagi saya, gagal move on bukan soal melupakan. Tapi lebih kepada merelakan yang sudah berlalu. Mengikhlaskan kepergiannya dengan semua luka yang tercipta. Merapikan kepingan hati yang mungkin berantakan. Menyembuhkan hati agar siap dihuni oleh yang lebih baik.

Lalu apa definisi 'Mantan'?
Mantan adalah seseorang yang pernah singgah di hati kita. Bukan soal lama atau tidaknya. 
Melainkan seberapa berkesannya kehadiran seorang mantan yang akan membekas di ruang hati kita masing-masing.

Mantan bukanlah yang seharusnya kita lupakan. 
Tapi bukan berarti kita harus mengingatnya setiap hari. Jangan. Jangan sampai begitu. Yang ada nanti malah terjebak nostalgia, lalu tersesat dan tak menemukan jalan pulang. Hahaha Maaf, ini lucu. Aku sendiri bahkan tak tahu kenapa topik mantan ini menggelitik perutku.
Well, mantan tetaplah mantan. 
Bukan yang harus tetap diharapkan.
 Bukan yang harus tetap dikenang. 
Melainkan direlakan.

Masa Kini.
Ini adalah masa yang kita jalani saat ini. Saat segalanya belum pasti dan tempat dimana kita mengukir kenagan baru untuk dikenang dikemudian hari.
Jika sudah berada di masa ini, tolong jangan terlalu sering melihat kebelakang; tempat dimana seharusnya kita ingat adalah yang saat ini ada bersama kita. Bukan yang telah berlalu begitu saja.

Ketika kita menemukan cinta yang baru di masa kini, sebut saja 'Gebetan'. Gebetan adalah calon pacar yang belum terealisasikan. Biasanya jika sudah dianggap sebagai 'gebetan' pasti memiliki harapan untuk bisa meresmikan suatu hubungan. 
Gebetan bukanlah orang yang ingin dibanding-bandingkan dengan mantan. 
Gebetan bukanlah orang yang ingin disamakan dengan yang sudah pergi entah kemana. 
Gebetan adalah seseorang yang entah akan membantumu merapikan hati atau malah akan memporak-porandakannya kembali.

Gebetan Vs Mantan
Ah, ini topik yang menarik. Berhubungan dengan masa lalu dan masa kini. Anggap saja sebagai siklus, kadang kita harus kembali ke tahap awal untuk memulai sesuatu yang baru. Terkadang kita juga harus melihat kebelakang untuk sekedar menghindari lubang yang sama. Tapi ketahuilah, jangan pernah menyatukan masa lalu dan masa kini sekaligus.
Masa lalu adalah yang membuatmu seperti saat ini.
Masa kini adalah yang menentukanmu di masa mendatang.
Gebetan? Jangan sesekali disamakan dengan Mantan. Jelas saja berbeda. Mana ada yang mau dibandingkan dengan yang sudah berlalu? Tak ada, bukan? :)
Mantan? Jangan selalu diungkit didepan Gebetan. Jelas saja menyakitkan. Mana ada yang mau mendengar masa lalu yang seharusnya tak ada di masa ini, ataupun masa mendatang? Tak ada, bukan? :)
Sederhana. Tetapi masih saja banyak yang menyatukan Gebetan dengan Mantan dalam waktu yang bersamaan. Trust me, it will never works.

Mantan seharusnya disimpan saja dengan rapi. Sesekali dibuka untuk mengingatkan kita tentang hal buruk dan hal baik yang bisa kita pelajari. Jangan terlalu sering mengungkitnya. Nanti jadi mendadak flashback dan tak akan bisa menjadi pribadi yang lebih baik.

Gebetan seharusnya diperlakukan sebagai acuan di masa yang akan mendatang. Diperlakukan sebaik-baiknya siapa tahu dialah satu-satunya. Jangan sampai dia terluka hanya karena masa lalu yang dibawa masuk begitu saja.

Gebetan VS Mantan
Tak ada yang menang. 
Semua memiliki masa sendiri.
Semua memiliki arti tersendiri.
Jangan dibandingkan. Jangan disamakan.
Biarkan saja pada porsinya masing-masing.
:)

Feb 8, 2014

Dia Telah Pergi.

Aku duduk di ruang tamu, seorang diri. Dengan gitar yang duduk manis di sampingku. Segelas coklat hangat favoritku yang mungkin tinggal beberapa teguk. Sesekali kubetulkan kacamata yang perlahan turun. Kali ini, aku merasakan ada yang berbeda dengan seseorang yang bisa dibilang sebagai Ibu. 

Ibu yang aku kenal selalu mengomentari tulisanku dengan candaan yang katanya aku tak memiliki bakat menulis. Ah, itu hanya lelucon sederhana yang menunjukkan bahwa Ibu tak menyukai apapun tentang seni, seperti Ayah. Ibu yang dulu aku kenal sering memasak makanan kesukaanku; cap jay. Entah kapan terakhir kali Ibu menyentuh peralatan yang ada di dapur. Semuanya sudah berdebu, Ibu tak lagi memasak layaknya dulu.

Well, sebenarnya tidak semuanya berubah. Ibu masih tetap sama dalam beberapa hal. Ibu masih sering membandingkan aku dengan Ayah. Sastra, musik, seni? Itulah yang Ayah wariskan didalam darahku yang masih mengalir sampai saat ini. Aku tak tahu apa yang membuat Ibu membencinya. Atau mungkin Ibu hanya tidak nyaman dengan ketiga hal tersebut. Dalam kenyataannya, Ibu lebih senang menghabiskan waktu bersama adikku. Katanya, adik adalah anaknya. Lalu? Jika sudah begitu, siapa aku? Bukan anaknya, begitu? Ini rumit. Aku tak cukup dewasa untuk mengerti semua kalimat Ibu yang cukup rancu.

Ibu yang dulu aku kenal telah pergi. Entah berubah menjadi apa sekarang. Aku tak lagi mengenalnya. Ibu berubah menjadi sosok yang selama ini sama sekali tak terpikirkan olehku. Maaf, Bu. Apakah aku ini, anakmu? Apakah Ibu masih mengingat bagaimana caraku menatapmu? Apakah Ibu masih mengingat apa makanan favoritku? Tunggu dulu, terlalu banyak pertanyaan di benakku. Kapan Ibu akan menjawabnya satu persatu? Oh, tak apa jika Ibu tak bisa. Aku sadar betul bahwa Ibu selalu sibuk dan tak memiliki waktu untukku. Aku sadar betul bahwa Ibu sudah berubah dan tak akan lagi menjadi Ibu yang sama layaknya dulu. Tapi, Bu.. Bisakah Ibu memelukku sebentar aja. Rasakan bahwa anak gadismu ini rapuh dan haus akan kasih sayangmu. Mana naluri keibuanmu yang katanya adalah perasaan paling mulia di dunia? Maaf, Bu. Aku kehilangan cara untuk menunjukkan bagaimana aku merindukanmu dengan manis.

Aku menyesapi beberapa teguk terakhir dari coklat panas yang berubah menjadi dingin. Tanpa sadar air mata sudah menumpuk di sudut mataku. Akhirnya, lagi-lagi aku menangis terisak. Mencoba memeluk lutut untuk sekedar menenangkan diri sendiri. Mencoba untuk mengatur nafas agar tak terdengar oleh adikku sendiri. Aku tak ingin dia melihatku menangis. Karna dimatanya, aku adalah pohon kuat yang tak kan tumbang dengan datangnya badai sekalipun. Sesekali aku termenung, tak tahu lagi harus menulis apa. Terlalu perih. Atau mungkin, sesekali aku berhenti menulis hanya untuk menahan diri agar tak lagi ada air mata yang jatuh sia-sia.

Ibu yang dulu aku kenal mungkin telah pergi. Dulu, Ibu sama sekali tak menyukai binatang peliharaaan yang berbulu, sebut saja kucing. Hahaha. Ini adalah bahan perdebatan seru antara aku dan Ibu. Aku selalu ingin memelihara anak kucing yang lewat begitu saja didepan rumah. Sedangkan Ibu selalu mengusir mereka dengan teriakan kasar yang jelas saja membuat mereka mengeong ketakutan. Tapi, Ibu yang sekarang berbeda. Ibu mengijinkanku memelihara kucing, dua sekaligus malah. Awalnya aku senang dengan perubahan yang Ibu miliki. Tapi, entah kenapa semua bahagia yang aku rasakan berubah menjadi getir saat aku tahu kenapa Ibu mau memilihara kucing. Sejak saat itu, semuanya semakin berubah. Ibu menjadi semakin jauh. Ibu menjadi semakin tak ku kenali. Kamu, bukanlah Ibuku yang dulu.

Tangisanku semakin keras. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ada perasaan sesak yang memenuhi dada. Nafasku mulai tersengal-sengal. Aku... Tak tahu lagi harus bagaimana. Aku hanya menginginkan Ibuku yang dulu kembali kepelukanku. Tapi apa daya, Ibuku telah pergi dan entah bagaimana cara membawanya kembali. Beginilah caraku menyampaikan rindu yang sebenarnya tak akan pernah tersampaikan.

P.S:
Ibu, ini aku. Anak gadismu yang mungkin tak lagi menjadi prioritasmu. Sejauh apa Ibu berubah, aku tetap disini menangis sendiri dan merindukan pelukanmu. Selamat malam, Ibu.