Feb 8, 2014

Dia Telah Pergi.

Aku duduk di ruang tamu, seorang diri. Dengan gitar yang duduk manis di sampingku. Segelas coklat hangat favoritku yang mungkin tinggal beberapa teguk. Sesekali kubetulkan kacamata yang perlahan turun. Kali ini, aku merasakan ada yang berbeda dengan seseorang yang bisa dibilang sebagai Ibu. 

Ibu yang aku kenal selalu mengomentari tulisanku dengan candaan yang katanya aku tak memiliki bakat menulis. Ah, itu hanya lelucon sederhana yang menunjukkan bahwa Ibu tak menyukai apapun tentang seni, seperti Ayah. Ibu yang dulu aku kenal sering memasak makanan kesukaanku; cap jay. Entah kapan terakhir kali Ibu menyentuh peralatan yang ada di dapur. Semuanya sudah berdebu, Ibu tak lagi memasak layaknya dulu.

Well, sebenarnya tidak semuanya berubah. Ibu masih tetap sama dalam beberapa hal. Ibu masih sering membandingkan aku dengan Ayah. Sastra, musik, seni? Itulah yang Ayah wariskan didalam darahku yang masih mengalir sampai saat ini. Aku tak tahu apa yang membuat Ibu membencinya. Atau mungkin Ibu hanya tidak nyaman dengan ketiga hal tersebut. Dalam kenyataannya, Ibu lebih senang menghabiskan waktu bersama adikku. Katanya, adik adalah anaknya. Lalu? Jika sudah begitu, siapa aku? Bukan anaknya, begitu? Ini rumit. Aku tak cukup dewasa untuk mengerti semua kalimat Ibu yang cukup rancu.

Ibu yang dulu aku kenal telah pergi. Entah berubah menjadi apa sekarang. Aku tak lagi mengenalnya. Ibu berubah menjadi sosok yang selama ini sama sekali tak terpikirkan olehku. Maaf, Bu. Apakah aku ini, anakmu? Apakah Ibu masih mengingat bagaimana caraku menatapmu? Apakah Ibu masih mengingat apa makanan favoritku? Tunggu dulu, terlalu banyak pertanyaan di benakku. Kapan Ibu akan menjawabnya satu persatu? Oh, tak apa jika Ibu tak bisa. Aku sadar betul bahwa Ibu selalu sibuk dan tak memiliki waktu untukku. Aku sadar betul bahwa Ibu sudah berubah dan tak akan lagi menjadi Ibu yang sama layaknya dulu. Tapi, Bu.. Bisakah Ibu memelukku sebentar aja. Rasakan bahwa anak gadismu ini rapuh dan haus akan kasih sayangmu. Mana naluri keibuanmu yang katanya adalah perasaan paling mulia di dunia? Maaf, Bu. Aku kehilangan cara untuk menunjukkan bagaimana aku merindukanmu dengan manis.

Aku menyesapi beberapa teguk terakhir dari coklat panas yang berubah menjadi dingin. Tanpa sadar air mata sudah menumpuk di sudut mataku. Akhirnya, lagi-lagi aku menangis terisak. Mencoba memeluk lutut untuk sekedar menenangkan diri sendiri. Mencoba untuk mengatur nafas agar tak terdengar oleh adikku sendiri. Aku tak ingin dia melihatku menangis. Karna dimatanya, aku adalah pohon kuat yang tak kan tumbang dengan datangnya badai sekalipun. Sesekali aku termenung, tak tahu lagi harus menulis apa. Terlalu perih. Atau mungkin, sesekali aku berhenti menulis hanya untuk menahan diri agar tak lagi ada air mata yang jatuh sia-sia.

Ibu yang dulu aku kenal mungkin telah pergi. Dulu, Ibu sama sekali tak menyukai binatang peliharaaan yang berbulu, sebut saja kucing. Hahaha. Ini adalah bahan perdebatan seru antara aku dan Ibu. Aku selalu ingin memelihara anak kucing yang lewat begitu saja didepan rumah. Sedangkan Ibu selalu mengusir mereka dengan teriakan kasar yang jelas saja membuat mereka mengeong ketakutan. Tapi, Ibu yang sekarang berbeda. Ibu mengijinkanku memelihara kucing, dua sekaligus malah. Awalnya aku senang dengan perubahan yang Ibu miliki. Tapi, entah kenapa semua bahagia yang aku rasakan berubah menjadi getir saat aku tahu kenapa Ibu mau memilihara kucing. Sejak saat itu, semuanya semakin berubah. Ibu menjadi semakin jauh. Ibu menjadi semakin tak ku kenali. Kamu, bukanlah Ibuku yang dulu.

Tangisanku semakin keras. Jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Ada perasaan sesak yang memenuhi dada. Nafasku mulai tersengal-sengal. Aku... Tak tahu lagi harus bagaimana. Aku hanya menginginkan Ibuku yang dulu kembali kepelukanku. Tapi apa daya, Ibuku telah pergi dan entah bagaimana cara membawanya kembali. Beginilah caraku menyampaikan rindu yang sebenarnya tak akan pernah tersampaikan.

P.S:
Ibu, ini aku. Anak gadismu yang mungkin tak lagi menjadi prioritasmu. Sejauh apa Ibu berubah, aku tetap disini menangis sendiri dan merindukan pelukanmu. Selamat malam, Ibu.

No comments:

Post a Comment