Jun 20, 2013

Selamanya? Aku Meragu.

Selamanya? Aku Meragu

          Aku mengendarai motorku dengan perasaan gundah. Masih terngiang suara paraunya saat mengatakan hal terpahit yang harus aku dengar. “Andre, aku mau kita udahan aja.” Kalimat macam apa itu. Aku masih saja menggerutu. Jalan menuju rumah Dinda memang jauh. Tapi aku merasa kali ini lebih jauh dari biasanya. Semakin ku tambah laju motorku. Aku tak peduli.
          Biasanya, datang ke rumah Dinda adalah salah satu hal yang membahagiakan. Entah ketika aku mengajaknya menonton film terbaru, mengajaknya makan di restoran baru, atau sekedar ingin melihat senyum manisnya. Tapi, kali ini berbeda. Aku bisa merasakan tanganku dingin saat membunyikan bel rumahnya.
          “Mau apa kesini?” Dinda membuka pintu dengan mata sembab. Aku tahu dia habis menangis. Aku tahu.
          “Kamu kenapa Din?” Sial. Bodohnya aku yang selalu menannyakan pertanyaan yang sama padahal aku sudah tahu jawabannya.
          “Aku nggak kenapa-kenapa tuh.” Jawabnya tanpa melihat mataku. Dinda berbohong, lagi.
          “Kita kenapa sih? Kalau ada masalah ya diselesaikan baik-baik. Jangan asal bilang putus gini dong Din. Aku masih sayang kamu.”
          “Kamu udah nggak pernah ada waktu buat aku lagi. Aku capek, Ndre. Kamu juga lebih sering jalan sama temen-temen kamu kan? Aku capek.” Suara Dinda parau. Menahan tangis, pasti.
          “Din, kita pacaran nggak seminggu dua minggu kan?” Aku menahan suaraku sendiri.
          “Dua tahun Din.” Aku melanjutkan. “Seharusnya kita hilangkan ego kita masing-masing. Bukan malah menghilangkan hubungan kita. Iya, kan?”
          Dinda masih saja diam. Entah apa yang dia pikirkan. Aku tak pandai menerka-nerka. Aku jadi teringat kata-katanya di anniversary dua tahun.
          “Semoga di anniversary kita yang ke-dua ini, kita bakal selamanya bersama yah. Aku sayang kamu, Andre.”
          Selamanya. Satu kata tanpa perjanjian tertulis tentang ‘waktu’. Bagaimana bisa ‘selamanya’ berubah menjadi ‘seketika’ saat Dinda memutuskanku via telepon tadi pagi? Bagaimana bisa ‘selamanya’ berubah menjadi ‘sekedarnya’? Bagaimana bisa ‘selamanya’ berubah menjadi ‘sesaat’? Aku meragu.
          Aku kesampingkan pikiran-pikiran itu. Aku melihat Dinda memainkan rambut indahnya yang dibiarkan tergerai begitu saja. Manis.
          “Din, beri aku satu kesempatan lagi. Aku janji, aku bakal meluangkan waktu lebih banyak sama kamu.” Aku berkata lirih tetapi meyakinkan. Aku rasa.
          Dinda tetaplah diam. Apa yang cewek pikirkan saat akan menjawab pertanyaan cowoknya? Aku tak habis pikir mengapa mereka selalu diam membuat kaumku penasaran sambil larut dalam pikiran.
          “Andre..” Suara lembut Dinda membuayarkan lamunanku.
          “Iya Din?”
          “Aku butuh waktu. Sebaiknya kamu pulang saja. Aku ingin sendirian.”
          Oke. Dinda menyuruhku pulang tanpa pelukan hangat seperti biasa. Dengan perasaan yang semakin tak menentu, aku pulang.
****
          Selamanya. Aku masih berusaha mengartikan kata itu. Dulu, Dinda selalu mengatakannya di setiap kami akan berpisah. Aku sayang kamu, selamanya. Masihkah ‘selamanya’ berarti baginya? Jika iya, kenapa dia tak memperjuangkan apa yang telah kami bangun selama ini? Manis pahitnya long distance relationship. Kenapa? Bertubi-tubi pertanyaan dariku dan untukku sendiri. Aku tak menemukan jawabannya.
          Ya. Aku dan Dinda menjalani long distance relationship atau biasa orang menyingkatnya dengan LDR. Aku tahu bahwa LDR tidak semudah berpacaran pada umumnya. Aku harus menyisihkan uang lebih untuk beli pulsa. Aku harus membagi waktuku bersama Dinda dan waktu bersama teman-temanku. Dibilang cowok gaul sih tidak. Tapi dimana-mana, cowok selalu punya banyak teman kan? Aku rasa itu wajar. Dan aku sering meyakinkan diriku sendiri bahwa memiliki banyak teman adalah hal yang positif selama mereka adalah orang yang benar. Apa mungkin Dinda sudah lelah akan hubungan jarak jauh ini? Entahlah. Aku belum menemukan jawabannya.
          Selamanya. Tak cukup bagiku untuk memahami apa arti cinta yang Dinda berikan untukku. Apa jika cewek mengatakan ‘selamanya’ akan selalu berujung dengan ‘sebentar saja’? Entahlah. Aku lelah. Well, apa mungkin ini adalah ‘lelah’ yang dirasakan Dinda terhadapku? Ah. Sudahlah.
****
          Aku mendapati diriku sedang mengetik SMS untuk Dinda. Mengapa begitu sulit mengetikkan kata-kata romantis yang biasanya aku tujukan untuknya? Aku ingin mengetahui kabar darinya. Sebenarnya, aku ingin tahu bagaimana kejelasan hubungan kami.

To: Adinda:*
Sayang,udah makan belum?
     
              Itu adalah SMS tersingkat yang pernah aku kirim untuk Dinda. Canggung memang. Tapi aku hanya bisa mengetikkan itu. Lima menit berlalu tak ada jawaban dari Dinda. Aku tetap menunggunya. Melihat handphoneku lima detik sekali, menggelikan.
          Handphoneku berdering. Ah. Dinda.
          “Halo Dinda.” Jawabku se-sumringah mungkin.
          “Hai Andre.” Nadanya masih sedingin kemarin siang.
          Hening. Apa yang dia pikirkan. Duh.
          “Ndre, soal yang kemarin siang. Emm, kayaknya aku nggak berubah pikiran Ndre. Aku pengen tetep kita udahan aja.”
          Ini kali pertama aku merasakan air di pelupuk mataku. Menangiskah aku? Mungkin.
          “Oh. Baiklah. Aku tak akan memaksa. Aku harap kita tetap berhubungan baik ya, Din.” Kataku penuh harap nan ragu. Bagaimana bisa jika aku terluka lalu semuanya akan baik-baik saja? Menyebalkan. Aku menutup percakapan kami tanpa mendengar kata-kata Dinda. Sudah. Ini cukup menyakitkan.
****
          Sebulan sudah aku ‘sendiri’. Nama ‘Adinda’ masih belum juga tergantikan di hati. Inikah yang namanya ‘Gagal Move On’? Aku menertawai diriku sendiri. Memang tidak mudah untukku merelakan semua yang telah pergi. Tapi bagiku, melihat Dinda menjadi bahagia tanpa aku adalah suatu kesalahan. Ya, pahit memang ketika kamu sadar bahwa orang yang msih kamu sayangi merasa lebih bahagia tanpamu. Dulu, dia selalu bahagia bersamaku. Tapi sekarang? Semuanya telah berubah. Dinda tidak lagi pacarku yang dulu.
          Terlepas dari itu, aku cukup bahagia melihat Dinda bahagia. Aku mencoba merelakan apa yang seharusnya pergi. Aku juga ingin bahagia. Dan aku rasa, bahagiaku bukan bersamanya.
          Aku bukanlah tipe orang yang mudah mengingat sesuatu. Dan aku heran mengapa aku bisa mengingat setiap detail yang Dinda punya. Senyum manisnya saat ku belikan coklat, rambutnya yang dibiarkan tergerai begitu saja, suara lembutnya yang menenangkan. Ah, sudahlah. Aku tak ingin terlalu larut dalam hal seperti ini.

“Untukmu, Adinda.
Entah bagaimana aku mengungkapkan perasaanku. Entah bagaimana kamu menerjemahkan cintaku. Tetapi, ketahuilah sesuatu. Cintaku padamu masih baku.”

          Mungkin benar jika patah hati membuat kita menjadi penulis dadakan. Saat ini aku memiliki buku tempatku menulis sepenggal demi penggal kalimat rancu yang seharusnya dibaca Dinda. Saat ini aku lebih banyak memiliki kata-kata untuk ditulis daripada kata-kata untukku ucapkan. Cinta membuat segalanya berubah.
 Pada akhirnya aku sadar. Bahwa cinta memang tidak untuk selamanya. Aku memandang langit sambil memetik senar gitarku. Aku masih memainkan lagu yang sama. Lagu yang sama saat Dinda masih bersamaku. Semoga suatu saat nanti akan ada cinta yang menyembuhkan lukaku. Semoga.

Inspired by: Yuan Danantio's Story.

No comments:

Post a Comment